TB Tulang dan Pengapuran Menundukan Kami Sekeluarga (2)

Tulisan sebelumnya ada di sini TB Tulang dan Pengapuran Menundukan Kami Sekeluarga (1).

Hampir sepekan di Rumah Sakit Mitra Timur, kami mengajak Ibu untuk tinggal di Ampera dahulu. Ibu dahulu tinggal dengan Bapak Tiri kami di Babelan dan kami meminta Bapak Tiri untuk Ibu agar tinggal di Ampera dahulu karena jarak Mitra Timur dengan Ampera dekat.

Sampai di Ampera, kami mencoba untuk berbicara dengan Ibu tentang yang dokter kabarkan kepada kami. Kami bertiga sebagai Anak sepakat, kami siap Ibu ingin pengobatan seperti apa. Beberapa pengobatan selain jalur operasi kami coba cari di Google dan tanya ke beberapa kawan terdekat. Kami sampaikan ke Ibu dan Ibu bilang ingin berobat yang lain dahulu dan tidak ingin ke jalur Operasi.

Mesti beberapa artikel di google menyebutkan bahwa TB Tulang penyakit yang harus di operasi, Kami ikut ke Ibu karena justru yang menjalani pengobatan adalah Ibu sendiri. Kami hanya bisa support 1000 % agar Ibu tetep semangat dan lekas sembuh seperti biasa.

Di pengobatan pertama, kami coba untuk tusuk jarum di daerah Bulakkapal. Kita dapat informasi bahwa pengobatan tusuk jarum dengan listrik tersebut mampu menghilangkan Virus TB di tulang belakang Ibu. Setelah menjalani 2-4 kali terapi, Ibu bilang ada perubahan, terasa enteng. Namun karena dokter tidak konsisten alias waktu jam terapi tidak selalu tepat, kadang dokter datang, kadang tidak datang sehingga membuat Ibu dan kami malas untuk datang kembali.

Bayangkan, kita sulit-sulit menggotong/menggendong Ibu, setelah sampai lokasi, dokter bilang tidak terapi karena alesan tertentu. Berat banget. Belum lagi, Ibu merasakan sakit yang lumayan ketika di perjalanan. Walaupun jarak dari Ampera ke Bulakkapal tidak jauh. Tapi daerah bulakkapal (BTC) terkenal dengan macetnya yang luar biasa.

Tidak lama itu, kondisi Ibu semakin menurun kembali, kadang tidak tidur karena merasakan sakit luar biasa. Ibu menangis, mengeluh, merintih malam-malam. Kami bingung harus bagaimana, kami hanya bisa menemani dan browsing-browsing cari info sampai akhirnya Ibu merasakan sesak nafas. Dan kami membawa kembali Ibu ke Mitra Timur.

Sampai di Mitra Timur, Ibu dirawat kembali dan suster mengatakan bahwa paru-paru Ibu terendam. Ada bercak-bercak. Ini yang membuat Ibu susah bernafas. Lanjut kembali, suster mengatakan “apa makan dan minum sambil tiduran?”
Kami jawab, “Iya”. Suster bilang “Nah itu dia, kalau bisa jangan sambil tiduran”.

Kami salah, tapi tidak sepenuhnya juga, karena Ibu benar-benar merintih jika badan-nya diajak untuk duduk. Ibu tidak bisa duduk untuk minum ataupun makan. Sampai akhirnya Ibu berusaha untuk duduk saat minum dan makan di Mitra ini. Di tempat Ibu di rawat kedua kalinya.

Selama dirawak kedua kalinya ini di Mitra, kondisi Ibu membaik kembali. Ibu bisa bangun dengan enteng, bisa buang air sendiri bahkan buang air besar. Alhamdulillah. Kami berpikiran, karena mungkin Ibu di inpus dan diberikan obat pereda sakit ampuh sama dokter.

Sampai akhirnya, Ibu meminta pulang ke Ampera lagi, Ibu ingin pulang dan ingin keluar dari Mitra. Kami meminta izin sama dokter, dan dokter mengizinkan dengan note jangan makan dan minum sambil tiduran.

Sampai di Ampera, dan beberapa hari di Ampera, Ibu kembali merasakan sakit dan berat untuk bangun tapi kami paksa Ibu untuk bangun saat makan dan minum. Sambil kami mencari pengobatan yang benar-benar cocok dengan Ibu. Dan akhirnya ketemu, pengobatan pemanasan dari batu germanium, happy dream.

Pengobatan ini informasi dari kawan kakan kedua. Dia sudah menyarankan untuk pengobatan ini saat Ibu baru pulang dari Mitra sebelumnya tapi saya dan kakak pertama tidak setuju karena jaraknya yang jauh daerah Babelan. Namun, Ibu terlihat seperti ingin mencoba, ingin berobat apapun yang penting ada usaha untuk sembuh. Akhirnya kami menemani Ibu untuk berobat Happy Dream tersebut, pengobatan dengan batu germanium.

Perjalanan dari Ampera ke pengobatan itu kisaran 30 menitan. Kami menyewa mobil grab dan kadang macet di daerah Giant Wisma Asri dan sekisarannya. Belum lagi kondisi Ibu yang sulit untuk berjalan, sampai akhirnya kita mencari Ibu meja yang bisa di dorong seperti di Rumah Sakit.

Terapi di pengobatan itu memakan waktu kira-kira 1 jam. Ibu tidur dipanaskan dengan semacam kasur yang berisi batu-batu germanium yang dipanaskan kira-kira 60-70 derajat. Setelah diterapi, Ibu merasakan enak, jadi enteng dan Ibu pun terlihat senang walaupun katanya panas sekali badannya.

Pengobatan ini juga dilakukan setiap hari, ibu datang dari Ampera ke Babelan dengan waktu perjalanan dan waktu terapi bisa 2 jaman. Sampai-sampai Ibu bilang ingin tinggal di Babelan aja biar deket. Memang jarak dari rumah Bapak Tiri ke tempat terapi pengobatan tersebut sangat dekat. Kira-kira 5 menit sudah sampai.

Namun kita sebagai anaknya agak berat di jarak. Karena babelan itu jauh, Kakak pertama di Ampera, Kakak kedua di jati mulya dan Saya di Tambun. Ketiganya sudah punya suami dan istri. Lalu di Babelan pun tidak ada yang bantu beres-beres dan masak, berat sekali buat kami bertiga awalnya. Tapi lagi-lagi karena Ibu sudah ingin, kami support dan ikuti yang Ibu mau saja.

Dalam sepekan, Kami sebagai anaknya mengatur waktu, siapa yang jaga Ibu senin-ahad. Siapa yang masak dan beres-beres di Babelan dan lain-lain. Sampai saya sendiri rasakan, tidak ada waktu lagi untuk selain ngurus Ibu dan bekerja. Saya bekerja senin-jum’at, sabtu dan minggu pasti harus di Babelan untuk jaga Ibu, mengantar-nya terapi dan beres-beres di Babelan.

Sebagai programmer, kadang ada tawaran proyek dari kawan, dari bekas bos atau kenalan. Tawaran itu saya tolak, saya lepas dan tidak saya ambil karena begitu padatnya waktu itu. Ada waktu istri dan anak yang dialokasikan ke Ibu, bahkan waktu untuk bersosial di Tambun pun tidak ada. Rumah di Tambun seperti tidak berpenghuni, Istri begitu banyak yang dikerjakan selain mengurus anak yang semakin sulit untuk diarahkan karena masih sedang masa nakal dan lincahnya.

Istri kakak kedua pun mulai merasakan hilangnya waktu bersama kakak kedua. Kakak kedua kadang bercerita kalau dia ingin jalan-jalan. Mungkin karena jenuh mengurus Ibu yang sabtu-ahad selalu ke sana. Saya hanya bilang, “silakan aja, jangan sampai lepas lagi” mengingat Kakak kedua pernah perasakan pahit-nya perceraian dalam pernikahan karena istri yang dulu mengeluhkan hal yang sama.

Alhamdulillah saya memiliki Istri yang pengertian, bisa membawa diri dan tahu kondisi. Saya coba untuk membagi dan memposisikan diri untuk sekedar mendengar Istri bercerita tentang apa mau-nya dan bagaimana jika ini itu. Bersyukur sekali.

Ada banyak sekali masalah di awal dan tengah tahun 2017 ini, tidak soal tentang Ibu yang sakit tapi orang-orang sekitar Ibu dan keluarga yang menunduk sabar menjalani ujian ini. Sampai akhirnya sekarang ingin lebaran di tahun 2017, alhamdulillah Ibu sudah bisa jalan. Iya Ibu sehat atas karunia Allah dan kesabaran kami mengurusnya.

Ibu sudah bisa jalan namun tidak lancar. Ibu sudah bisa mandi sendiri, memasukan pakaian ke mesin cuci, sudah bisa memasak air, menyapu dan hal lainnya. Luar biasa sekali, semangat Ibu untuk sembuh pun masih terasa. Ibu mencoba ke pengobatan lainnya.

Ibu lepas pengobatan germanium tersebut yang sudah Ia jalani hampir 7 bulan berturut-turut setiap hari terapi dan mencoba ke pengobatan lainnya, yang belum lama ini adalan pengobatan cina di daerah Buaran, Jakarta Timur.

Sampai sekarang, walaupun Ibu masih belum bisa jalan 100%, belum bisa duduk di bawah lantai, belum bisa jongkok ataupun menunduk lebih turun untuk mengambil sesuatu, dan kadang kaki pengapurannya terasa sakit luar biasa, ada ucapan syukur kami kepada Allah atas karunia-nya. Teringat dulu waktu awal-awal sakit yang luar biasa, Ibu merintih kesakitan dan kami hanya bisa berdoa menemani.

Dan salah satu alasan saya ingin menjual rumah di Tambun ini adalah untuk mencukupi Ibu dalam pengobatan-nya nanti kedepan mengingat keuangan Ibu dan kami yang terbatas. Semoga Allah memudahkan kami sekeluarga.

Dan tulisan ini pula yang akan jadi kenangan bahwa sebagai anak, Allah kasih jalan seribu cara untuk berbakti kepada orang tua nya. Walaupun pasti tidak mungkin bisa membayar seluruh jasa orang tua. Kita akan merasakan dan menerima kesempatan berbakti kepada orang tua, dan jika saat itu datang, jangan kau merasa jatuh dan berat, bersabarlah dan jalan untuk bangunlah perlahan untuk bantu orang tuamu.

Penulis: Martin Adiputra

Software Engineer

Satu komentar pada “TB Tulang dan Pengapuran Menundukan Kami Sekeluarga (2)”

  1. hi teman, bagaimana kabar ibu mu?
    btw saya juga TB tulang, sebaiknya di operasi, dan pasang pen
    dan minum obat TB

    saya sembuh dan sudah 5 tahun normal aja, walau pen mash terpasang di punggung saya

Silahkan Komentar...

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.